Pengelolaan Dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah

PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN DANA KAPITASI

JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA

MILIK PEMERINTAH DAERAH

 Untitled

Sumber: http://www.diskes.jabarprov.go.id

    I. PENDAHULUAN

Memperoleh pelayanan kesehatan merupakan hak setiap warga negara. Hal ini termaktub dalam Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, pemerintah telah menyelenggarakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan), sebagai upaya memberikan perlindungan kesehatan kepada peserta untuk memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan.

Penyelenggaraan JKN merupakan upaya pemerintah dalam mewujudkan komitmen global sebagai amanat resolusi World Health Assembly (WHA) ke-58 tahun 2005 di Jenewa yang menginginkan setiap negara mengembangkan Universal Health Coverage (UHC) bagi seluruh penduduknya.[1] Sebelum diselenggarakan JKN, pemerintah telah merintis dan menyelenggarakan beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya melalui PT Askes (Persero) dan PT Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain pegawai negeri sipil, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih terfragmentasi, terbagi-bagi sehingga biaya Kesehatan dan mutu pelayanan menjadi sulit terkendali.[2] Dari sisi pengawasan dan pengendalian, adanya berbagai macam jaminan sosial kesehatan menuntut pemahaman dari para pemeriksa, baik internal maupun eksternal pemerintah, tentang berbagai macam peraturan perundang-undangan terkait untuk kepentingan pemeriksaan.

Implementasi program jaminan kesehatan yang diselenggaran oleh BPJS Kesehatan telah dimulai sejak 1 Januari 2014. Berbagai peraturan perundang-undangan dibentuk sebagai payung hukum bagi pelaksanaannya. Salah satunya adalah Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah (Perpres No. 32 Tahun 2014). Peraturan ini termasuk kelompok peraturan yang paling awal dibentuk. Diundangkan pada 21 April 2014, Perpres No. 32 Tahun 2014 diharapkan mampu memberikan pedoman bagi fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) milik pemerintah daerah dalam mengelola dan memanfaatkan dana kapitasi JKN.

Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik untuk keperluan observasi, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya.[3] Menurut Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan, FKTP terdiri dari puskesmas atau yang setara, praktik dokter, praktik dokter gigi, klinik Pratama atau yang setara termasuk FKTP milik TNI/Polri, dan rumah sakit Kelas D Pratama atau yang setara.[4]

Fasilitas kesehatan tingkat pertama milik pemerintah daerah pada umumnya berbentuk Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas). Kedudukan puskesmas berada di bawah koordinasi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan berstatus sebagai Unit Pelaksana Tugas (UPT).

Selain FKTP, terdapat Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL), yaitu fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat spesialistik atau sub spesialistik yang meliputi rawat jalan tingkat lanjutan, rawat inap tingkat lanjutan dan rawat inap di ruang perawatan khusus. Adanya pengkategorian FKTP dan FKRTL disebabkan pemberian pelayanan kesehatan pada program JKN menggunakan sistem rujukan berjenjang. Semua kebutuhan peserta program JKN akan layanan kesehatan diharapkan dapat diberikan secara tuntas di puskesmas. Ketika tidak, maka peserta akan dirujuk ke FKRTL. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas tentang pelaksanaan program JKN pada FKTP milik pemerintah daerah, yaitu puskesmas khususnya terkait pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi JKN.

Dana kapitasi JKN adalah dana yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada puskesmas sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan bagi peserta JKN. Sumber dana kapitasi berasal dari hasil pengelolaan dan pengembangan dana iuran peserta JKN oleh BPJS Kesehatan. Tarif kapitasi JKN untuk setiap puskesmas ditentukan oleh BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan melalui mekanisme seleksi dan kredensial dengan mengacu pada Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Norma Penetapan Besaran Kapitasi dan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama. Dana kapitasi JKN dibayarkan dimuka setiap bulan tanpa memperhitungkan banyaknya pasien peserta JKN yang berobat dan jenis pelayanan kesehatan yang diberikan oleh puskesmas. Dari dana kapitasi inilah pemerintah daerah, melalui puskesmas, memperoleh dana untuk pelayanan kesehatan kepada pasien peserta program JKN.

Dana kapitasi JKN dikelola dan dimanfaatkan oleh puskemas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan daerah. Bagi puskesmas yang belum menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD), maka dalam mengelola dan memanfaatkan dana kapitasi JKN berlaku azas umum pelaksanaan APBD dan norma-norma penatausahaan keuangan daerah yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Sedangkan bagi puskesmas yang sudah menerapkan PPK-BLUD digunakan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah. Dalam tulisan ini hanya akan dibahas mengenai pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi JKN oleh puskesmas yang belum menerapkan PPK-BLUD, sebagaimana hal tersebut menjadi objek atau cakupan pengaturan dalam Perpres No. 32 Tahun 2014.

Beberapa azas umum pelaksanaan APBD dan norma penatausahaan keuangan di dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang berkaitan erat dengan pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi JKN adalah:

  1. Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan daerah dikelola dalam APBD;[5]
  2. Penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan;[6]
  3. Jumlah belanja yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap pengeluaran belanja;[7]
  4. Pengeluaran tidak dapat dibebankan pada anggaran belanja jika untuk pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia dalam APBD;[8]
  5. Setiap SKPD dilarang melakukan pengeluaran atas beban anggaran daerah untuk tujuan lain dari yang telah ditetapkan dalam APBD;[9]
  6. Semua pendapatan daerah dilaksanakan melalui rekening kas umum daerah;[10]
  7. Setiap pengeluaran belanja atas beban APBD harus didukung dengan bukti yang lengkap dan sah.[11]

Dana kapitasi JKN yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada puskesmas diakui sebagai pendapatan.[12] Apabila mengacu kepada azas umum pelaksanaan APBD dan norma penatausahaan keuangan seperti tersebut di atas, maka Dinas Kesehatan harus sudah merencanakan penerimaan dana kapitasi JKN dalam anggaran pendapatannya. Selain itu, Dinas Kesehatan juga harus sudah merencanakan kebutuhan-kebutuhan puskesmas yang akan dibiayai dari dana kapitasi JKN dalam anggaran belanjanya. Kemudian, puskesmas harus menyetorkan dana kapitasi JKN yang diterimanya ke kas daerah secara bruto dan dilarang untuk menggunakannya secara langsung.

Namun, tidak semua azas umum pelaksanaan APBD dan norma penatausahaan keuangan dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 dapat diterapkan bagi pengelolaan dana kapitasi JKN. Larangan penggunaan langsung atas penerimaan SKPD dikecualikan dalam rangka pengelolaan dana kapitasi JKN. Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) Perpres 32 Tahun 2014, pendapatan dana kapitasi JKN digunakan langsung oleh puskesmas untuk pelayanan kesehatan perserta JKN. Penggunaan langsung dana kapitasi JKN oleh puskesmas didukung dengan mekanisme penyaluran dana dari pihak BPJS Kesehatan. Tidak seperti penerimaan daerah lainnya yang berasal dari pemerintah pusat, dimana penerimaan tersebut ditujukan ke rekening kas umum daerah yang dikelola oleh Bendahara Umum Daerah, dana kapitasi JKN dibayarkan oleh BPJS Kesehatan langsung ke rekening dana kapitasi JKN yang dikelola oleh Bendahara Dana Kapitasi JKN di puskesmas.

Ketentuan lain dari Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang akan terdampak dari penerapan kebijakan penggunaan langsung dana kapitasi JKN oleh puskesmas adalah perihal penatausahaan pengeluaran. Mekanisme penerbitan Surat Penyediaan Dana (SPD), Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar (SPM), dan Surat Permintaan Pencairan Dana (SP2D) tidak dikenal dalam penatausahaan pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi JKN.

Pola pengelolaan dana kapitasi JKN berbeda dengan pola pada saat jaminan sosial kesehatan masih berbentuk Jamkesmas. Pada program Jamkesmas, dana Jamkesmas disalurkan ke rekening penampung khusus yang dikelola oleh koordinator program Jamkesmas di daerah. Pembayaran dana Jamkesmas kepada puskesmas didasarkan pada klaim yang diajukan oleh masing-masing puskesmas. Penerimaan dana Jamkesmas disetorkan secara bruto oleh puskesmas ke rekening kas umum daerah. Pembayaran jasa puskesmas dan jasa medis dilaksanakan melalui mekanisme belanja daerah, yaitu dengan mengajukan SPP, SPM dan SP2D.

Dalam tulisan ini akan dipaparkan secara normatif ketentuan mengenai pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi JKN pada puskesmas yang belum menerapkan PPK-BLUD sebagaimana diatur dalam Perpres No. 32 Tahun 2014. Pembaca diharapkan mendapat gambaran mengenai pengertian dana kapitasi JKN, tata cara pengeloaan dan pemanfaatannya di puskesmas yang belum menerapkan PPK-BLUD. Di samping itu, beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang dimuat dalam tulisan ini semoga dapat menjadi informasi bagi pelaksana program JKN dalam melaksanakan praktik pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi JKN.

    II. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian pada bagian pendahuluan, permasalahan yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah:

  1. Apakah yang dimaksud dengan dana kapitasi JKN?
  2. Bagaimanakan pengelolaan dana kapitasi JKN pada FKTP milik pemerintah daerah?
  3. Bagaimanakah pemanfaatan dana kapitasi JKN pada FKTP milik pemerintah daerah?

 

    III. PEMBAHASAN

 

  1. DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 6 Perpres 32 Tahun 2014, dana kapitasi adalah besaran pembayaran per-bulan yang dibayar dimuka kepada FKTP berdasarkan jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Pengertian ini sama dengan istilah “tarif kapitasi” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1 Permenkes Nomor 59 Tahun 2014 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional.[13]

Besaran tarif kapitasi bagi puskesmas berada dalam rentang Rp3.000,00 – Rp6.000,00 per peserta program JKN yang terdaftar di puskesmas tersebut[14]. Misalnya di suatu puskesmas terdaftar peserta JKN sebanyak 5.000 peserta, dan tarif kapitasi di puskesmas tersebut ditetapkan sebesar Rp3.000,00/peserta, maka dana kapitasi yang dibayar oleh BPJS Kesehatan setiap bulannya adalah Rp15.000.000,00 (5.000 peserta x Rp3.000,00) tanpa memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta JKN pada bulan bersangkutan.

Metode pembayaran berbasis kapitasi pada program JKN tersebut berbeda dengan metode pada saat jaminan kesehatan masih berbentuk Jamkesmas dan Jamkesda. Pembayaran oleh pemerintah pusat sebagai penyelenggara Jamkesmas, atau oleh pemerintah daerah sebagai penyelenggara Jamkesda kepada puskesmas menggunakan metode klaim dengan memperhitungkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan.

Penentuan jumlah peserta JKN terdaftar di suatu puskesmas ditetapkan berdasarkan data yang dimiliki oleh BPJS Kesehatan. Sedangkan penentuan besaran tarif kapitasinya dilakukan oleh BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melalui proses seleksi dan kredensial terhadap puskesmas dengan mempertimbangan sumber daya manusia, kelengkapan sarana dan prasarana, lingkup pelayanan, dan komitmen pelayanan.[15] Tarif kapitasi yang sudah ditentukan oleh BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota selanjutnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan bersama antara BPJS Kesehatan dengan Asosiasi FKTP.[16]

Mekanisme seleksi dan kredensial oleh BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan dalam rangka penentuan tarif kapitasi diatur dalam Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Norma Penetapan Besaran Kapitasi dan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.[17] Berdasarkan Peraturan BPJS Kesehatan tersebut, besaran tarif kapitasi puskesmas dipengaruhi oleh beberapa faktor yang disebut sebagai norma. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan dalam menentukan besaran tarif kapitasi bagi puskesmas adalah:[18]

  1. Sumber daya manusia

Pertimbangan sumber daya manusia meliputi ketersediaan dokter berdasarkan rasio jumlah dokter dengan jumlah peserta terdaftar dan ketersediaan dokter gigi, perawat, bidan termasuk jejaring bidan dan tenaga administrasi.

  1. Kelengkapan sarana dan prasarana

Pertimbangan kelengkapan sarana dan prasarana meliputi kelengkapan sarana prasaranan yang diperlukan dalam memberikan pelayanan dan waktu pelayanan di puskesmas.

  1. Lingkup pelayanan

Pertimbangan lingkup pelayanan meliputi pelayanan rawat jalan tingkat pertama sesuai peraturan perundang-undangan, pelayanan obat, dan pelayanan laboratorium tingkat pertama.

  1. Komitmen pelayanan

Komitmen pelayanan adalah komitmen FKTP untuk meningkatkan mutu pelayanan melalui pencapaian indikator pelayanan kesehatan perseorangan yang disepakati.

Setiap puskesmas yang berkerjasama dengan BPJS Kesehatan harus memenuhi persyaratan:[19]

  1. memiliki perawat;
  2. memiliki bidan dan/atau jejaring bidan;
  3. memiliki tenaga adiministrasi;
  4. memenuhi kriteria kredensialing dan rekredensialing;
  5. memberikan pelayanan rawat jalan tingkat pertama sesuai peraturan perundang-undangan;
  6. memberikan pelayanan obat;
  7. memberikan pelayanan laboratorium tingkat pertama;
  8. membuka waktu pelayanan minimal 8 (delapan) jam setiap hari kerja; dan
  9. memberikan pelayanan darurat di luar jam pelayanan.

Puskesmas yang telah memenuhi persyaratan memperoleh pembayaran dengan besaran tarif kapitasi yang didasarkan pada jumlah dokter, rasio jumlah dokter dengan jumlah peserta, ada atau tidaknya dokter gigi, dan waktu pelayanan. Semakin lengkap SDM dan sarana prasarana yang dimiliki, serta jenis dan lingkup pelayanan yang diberikan, semakin besar tarif kapitasi yang akan diperoleh puskesmas.

Secara sederhana, untuk mengetahui besaran tarif kapitasi di suatu puskesmas, dapat dilakukan dengan mengelompokan puskesmas menjadi dua kategori. Pertama, puskesmas yang memberikan pelayanan 24 jam dan yang kurang dari 24 jam. Tarif kapitasi untuk puskesmas yang memberikan pelayanan kurang dari 24 jam berada dalam rentang Rp3.000,00 – Rp3.500,00/peserta JKN. Sedangkan, puskesmas yang memberikan pelayanan 24 jam tarif kapitasinya berada dalam rentang Rp3.500,00 – Rp6.000,00.[20]

 

  1. PENGELOLAAN DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA MILIK PEMERINTAH DAERAH

Peraturan Menteri Kesehatan No. 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan menentukan bahwa bagi puskesmas yang belum menerapkan PPK-BLUD, pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan daerah. Di dalam ketentuan Perpres No. 32 Tahun 2014 terdapat pengecualiam terhadap ketentuan dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006, khususnya terkait pembayaran langsung kepada bendahara dana kapitasi JKN di puskesmas dan penggunaan langsung oleh puskesmas untuk pelayanan peserta JKN.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 Perpres 32 Tahun 2004, pengelolaan dana kapitasi adalah tata cara penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban dana kapitasi yang diterima oleh FKTP dari BPJS Kesehatan.[21]

  1. Mekanisme Penyaluran Dana Kapitasi

BPJS Kesehatan melakukan pembayaran dana kapitasi kepada puskesmas. Pembayaran dana kapitasi tersebut didasarkan pada jumlah peserta yang terdaftar di puskesmas sesuai data dari BPJS Kesehatan. Dana kapitasi dibayarkan langsung oleh BPJS Kesehatan kepada Bendahara Dana Kapitasi JKN pada puskesmas.[22]

Pembayaran langsung kepada Bendahara Dana Kapitasi JKN pada puskesmas merupakan pengecualian atas ketentuan pasal 1 angka 48 Permendagri No. 13 Tahun 2006, yang menentukan bahwa penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah. Demikian juga Pasal 13 ayat (2) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang menentukan bahwa semua penerimaan dan pengeluaran daerah dilakukan melalui rekening kas umum daerah.

Ketentuan dalam Perpres 32 Tahun 2014 memang menyatakan bahwa rekening dana kapitasi JKN yang dikelola oleh Bendahara Dana Kapitasi JKN di puskesmas ditetapkan oleh Kepala Daerah dan merupakan bagian dari rekening Bendahara Umum Daerah.[23] Belanja daerah dilakukan tanpa melalui mekanisme penerbitan SPD, SPP, SPM, dan SP2D yang mensyaratkan adanya bukti pertanggungjawaban yang lengkap dan sah, sebagaimana diatur dalam Pasal 196 – Pasal 227 Permendagri No. 13 Tahun 2006. Sebagai gantinya, Perpres 32 Tahun 2014 mengatur tata cara pelaporan realisasi penerimaan dan penggunaan dana kapitasi oleh kepala puskesmas dan Kepala Dinas Kesehatan kepada PPKD. Tata cara yang sejatinya merupakan konsep tata kelola keuangan bagi BLUD sebagaimana diatur dalam Pasal 62 ayat (4) dan Pasal 66 ayat (1) Permendagri No. 61 Tahun 2007.

  1. Mekanisme Penganggaran

Sebagai UPT Dinas Kesehatan, rencana pendapatan dan belanja puskesmas yang bersumber dari dana kapitasi JKN harus dianggarkan dalam Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) Dinas Kesehatan.

Kepala Puskesmas menyampaikan rencana pendapatan dan belanja dana kapitasi JKN (RPBDK) tahun berjalan kepada Kepala Dinas Kesehatan. RPBDK tersebut mengacu pada jumlah peserta yang terdaftar di puskesmas dan besaran kapitasi JKN, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. RPBDK dianggarkan dalam RKA-SKPD Dinas Kesehatan. Tata cara dan format penyusunan RKA-SKPD Dinas Kesehatan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan daerah.[24]

Ketentuan mekanisme penganggaran dana kapitasi JKN yang diatur dalam Perpres 32 Tahun 2014 sejalan dengan ketentuan Pasal 90 – Pasal 99 Permendagri No. 13 Tahun 2006.

  1. Mekanisme Pelaksanaan dan Penatausahaan

Mekanisme pelaksanaan dan penatausahaan dana kapitasi JKN pada Puskesmas dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut.[25]

  1. Kepala Dinas Kesehatan menyusun Dokumen Pelaksanaan Anggaran (DPA) berdasarkan peraturan daerah tentang APBD tahun anggaran berkenaan dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD tahun anggaran berkenaan;
  2. Kepala daerah menetapkan Bendahara Dana Kapitasi JKN pada Puskesmas atas usul Kepala Dinas Kesehatan melalui PPKD;
  3. Bendahara Dana Kapitasi JKN pada Puskesmas membuka Rekening Dana Kapitasi JKN, yang ditetapkan oleh Kepala Daerah dan merupakan bagian dari Rekening BUD;
  4. Kepala Puskesmas menyampaikan Rekening Dana Kapitasi JKN kepada BPJS Kesehatan;
  5. BPJS Kesehatan membayar dana kapitasi JKN melalui Rekening Dana Kapitasi JKN pada Puskesmas yang diakui sebagai pendapatan Puskesmas dan dapat dipergunakan langsung untuk pelayanan peserta JKN pada Puskesmas;
  6. Bendahara Dana Kapitasi JKN pada Puskesmas mencatat dan menyampaikan realisasi pendapatan dan belanja setiap bulan kepada Kepala Puskesmas;
  7. Kepala Puskesmas menyampaikan laporan realisasi pendapatan dan belanja tersebut kepada Kepala Dinas Kesehatan dengan melampirkan surat pernyataan tanggung jawab. Dalam hal pendapatan dana kapitasi tidak digunakan seluruhnya pada tahun anggaran berkenaan, dana kapitasi tersebut digunakan untuk tahun anggaran berikutnya;
  8. Berdasarkan laporan realisasi pendapatan dan belanja yang disampaikan oleh Kepala Puskesmas, Kepala Dinas Kesehatan menyampaikan Surat Permintaan Pengesahan Pendapatan dan Belanja (SP3B) Puskesmas kepada PPKD. SP2B FKTP tersebut termasuk sisa dana kapitasi yang belum digunakan pada tahun anggaran berkenaan;
  9. Berdasarkan SP3B Puskesmas, PPKD selaku BUD menerbitkan Surat Pengesahan Pendapatan dan Belanja (SP2B) Puskesmas. PPK-SKPD dan PPKD melakukan pembukuan atas pendapatan dan belanja Puskesmas berdasarkan SP2B.

Pasal 122 ayat (3) Permendagri No. 13 Tahun 2006 menentukan bahwa penerimaan SKPD dilarang digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan. Melalui Perpres 32 Tahun 2014, ketentuan Pasal 122 ayat (3) Permendagri No. 13 Tahun 2006 dikecualikan. Puskesmas diperkenankan untuk menggunakan langsung dana kapitasi JKN untuk pelayanan kesehatan peserta JKN.

  1. Mekanisme Pertanggungjawaban

Kepala Puskesmas bertanggung jawab secara formal dan material atas pendapatan dan belanja dana kapitasi JKN. Pendapatan dan belanja dana kapitasi disajikan dalam Laporan Keuangan Dinas Kesehatan dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Tata cara dan format penyusunan laporan keuangan dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan daerah.[26]

Ketentuan dalam Perpres 32 Tahun 2014 sejalan dengan Pasal 184 ayat (2) Permendagri No. 13 Tahun 2006 yang menentukan bahwa pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar penerimaan dan/atau pengeluaran atas pelaksanaan APBD bertanggung jawab terhadap kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud.

Realisasi penerimaan dan belanja dana kapitasi disajikan dalam Laporan Realisasi Anggaran Dinas Kesehatan. Tata cara dan format penyusunan laporan keuangan diatur dalam Pasal 265 Permendagri No. 13 Tahun 2006.

  1. Mekanisme Pengawasan

Penerimaan dan pemanfaatan dana kapitasi oleh Bendahara Dana Kapitasi JKN pada puskesmas diawasi secara berjenjang oleh Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Puskesmas. Selain itu, dilakukan juga pengawasan fungsional oleh Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP) sesuai ketentuan yang berlaku.[27]

Pengawasan secara berjenjang oleh Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Puskesmas, serta pengawasan fungsional oleh APIP tersebut dilaksanakan untuk meyakinkan efektifitas, efisiensi, dan akuntabilitas pengelolaan dan pemanfaatan dana kapitasi.

 

  1. PEMANFAATAN DANA KAPITASI JAMINAN KESEHATAN NASIONAL PADA FASILITAS KESEHATAN TINGKAT PERTAMA MILIK PEMERINTAH DAERAH

Berdasarkan uraian pada bagian sebelumnya, dijelaskan bahwa puskesmas dapat menggunakan (memanfaatkan) secara langsung dana kapitasi yang diterimanya dari BPJS Kesehatan. Pemanfaatan dana kapitasi dibatasi penggunaannya berdasarkan Perpres No. 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah.

Dana kapitasi JKN dimanfaatkan seluruhnya untuk jasa pelayanan kesehatan dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan. Jasa pelayanan meliputi jasa pelayanan kesehatan perorangan yang dilakukan oleh tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan. Dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan meliputi biaya obat, alat kesehatan, bahan medis habis pakai, dan dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan lainnya.[28]

Jasa pelayanan kesehatan ditetapkan sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari total penerimaan dana kapitasi JKN. Sisanya, dimanfaatkan untuk dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan.[29]

Besaran alokasi pemanfaatan dana kapitasi JKN yang diterima oleh puskesmas dari BPJS ditetapkan setiap tahun dengan Keputusan Kepala Daerah atas usulan Kepala Dinas Kesehatan dengan mempertimbangkan kebutuhan obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai; kegiatan operasional pelayanan kesehatan dalam rangka mencapai target kinerja di bidang upaya kesehatan perorangan; dan besar tunjangan yang telah diterima dari pemerintah daerah.[30]

  1. Jasa Pelayanan Kesehatan[31]

Alokasi dana kapitasi untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan dimanfaatkan untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan bagi tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan yang melakukan pelayanan pada Puskesmas.

Pembagian jasa pelayanan kesehatan tersebut ditetapkan dengan mempertimbangkan variabel:

  1. jenis ketenagaan dan/atau jabatan; dan
  2. kehadiran.

Variabel jenis ketenagaan dan/atau jabatan dinilai sebagai berikut:

  1. tenaga medis, diberi nilai 150;
  2. tenaga apoteker atau tenaga profesi keperawatan (Ners), diberi nilai 100;
  3. tenaga kesehatan setara S1/D4, diberi nilai 60;
  4. tenaga non kesehatan minimal setara D3, tenaga kesehatan setara D3, atau tenaga kesehatan dibawah D3 dengan masa kerja lebih dari 10 tahun, diberi nilai 40;
  5. tenaga kesehatan dibawah D3, diberi nilai 25; dan
  6. tenaga non kesehatan dibawah D3, diberi nilai 15.

Tenaga yang merangkap tugas administratif sebagai Kepala FKTP, Kepala Tata Usaha, atau Bendahara Dana Kapitasi JKN diberi tambahan nilai 30.

Variabel kehadiran dinilai sebagai berikut:

  1. hadir setiap hari kerja, diberi nilai 1 poin per hari; dan
  2. terlambat hadir atau pulang sebelum waktunya yang diakumulasi sampai dengan 7 (tujuh) jam, dikurangi 1 poin.

Ketidakhadiran akibat sakit dan/atau penugasan ke luar kota oleh Kepala FKTP dikecualikan dalam penilaian kehadiran.

Jumlah jasa pelayanan yang diterima oleh masing-masing tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan dihitung dengan menggunakan formula sebagai berikut:

jumlah nilai yang diperoleh oleh seseorang x jumlah dana jasa pelayanan
jumlah nilai seluruh tenaga

Keterangan:

jumlah nilai diperoleh dari nilai variabel jenis ketenagaan dan/atau jabatan ditambah nilai variabel kehadiran.

  1. Biaya Operasional Pelayanan Kesehatan[32]

Alokasi dana kapitasi untuk dukungan biaya operasional pelayanan kesehatan dimanfaatkan untuk:

  1. obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yang pengadaannya dapat dilakukan melalui SKPD Dinas Kesehatan, dengan mempertimbangkan ketersediaan obat, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai yang dialokasikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah; dan
  2. kegiatan operasional pelayanan kesehatan lainnya, yang meliputi:

1)   upaya kesehatan perorangan berupa kegiatan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif lainnya;

2)   kunjungan rumah dalam rangka upaya kesehatan perorangan;

3)   operasional untuk puskesmas keliling;

4)   bahan cetak atau alat tulis kantor; dan/atau

5)   administrasi keuangan dan sistem informasi.

Pembinaan dan pengawasan pelaksanaan peraturan menteri ini dilakukan oleh Kepala SKPD Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Kepala FKTP secara berjenjang dan secara fungsional oleh Aparatur Pengawas Instansi Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam hal dana kapitasi JKN tidak digunakan seluruhnya pada tahun anggaran berkenan, dana kapitasi JKN tersebut digunakan untuk tahun anggaran berikutnya.[33]

 

  1. KESIMPULAN

Dana kapitasi adalah dana yang dibayarkan oleh BPJS Kesehatan kepada puskesmas sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan bagi peserta JKN. Dana tersebut dibayarkan dimuka setiap bulan tanpa memperhitungkan banyaknya pasien peserta JKN yang berobat dan jenis pelayanan kesehatan yang diberikan oleh puskesmas. Tarif kapitasi suatu puskesmas ditentukan berdasarkan kriteria atau norma yang dinilai melalui proses seleksi dan kredensial oleh pihak BPJS Kesehatan dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Alokasi dana kapitasi yang dibayarkan adalah sebesar tarif kapitasi dikali jumlah peserta JKN yang terdaftar di puskesmas.

Pengelolaan dana kapitasi meliputi kegiatan penganggaran, pelaksanaan, penatausahaan, dan pertanggungjawaban. Bagi puskesmas yang belum menerapkan PPK-BLUD, maka pengelolaan dana kapitasi dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pengelolaan keuangan daerah. Meskipun demikian, pelaksanaan belanja daerah yang bersumber dari dana kapitasi tidak perlu menggunakan mekanisme penerbitan SPP, SPM dan SP2D. Puskesmas dapat menggunakan (memanfaatkan) secara langsung dana kapitasi yang telah dibayarkan oleh pihak BPJS Kesehatan melalui rekening Bendahara Dana Kapitasi JKN di Puskesmas. Pendapatan dan belanja yang bersumber dari dana kapitasi dikelola oleh Bendahara Dana Kapitasi JKN pada Puskesmas. Realisasi pendapatan dan belanja dana kapitasi dicatat dan dilaporkan oleh Bendahara Dana Kapitasi JKN kepada Kepala Puskesmas, untuk kemudian disampaikan oleh Kepala Puskesmas kepada Kepala Dinas Kesehatan. Pengakuan pendapatan dan belanja dalam laporan realisasi anggaran dilakukan oleh Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota setelah memperoleh Surat Pengesahan Pendapatan dan Belanja (SP2B) Puskesmas dari PPKD selaku BUD.

Dana kapitasi dimanfaatkan untuk jasa pelayanan dan biaya operasional pelayanan kesehatan. Jasa pelayanan dimanfaatkan untuk pembayaran jasa pelayanan kesehatan bagi tenaga kesehatan dan tenaga non kesehatan yang melakukan pelayanan, sedangkan biaya operasional pelayanan kesehatan digunakan untuk obat, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai, serta kegiatan operasional pelayanan kesehatan lainnya. Pemanfaatan dana kapitasi tersebut harus direncanakan dalam bentuk program dan kegiatan pada RKA-DPA SKPD Dinas Kesehatan dan dianggarkan dalam APBD. Dalam hal dana kapitasi JKN tidak digunakan seluruhnya pada tahun anggaran berkenan, dana kapitasi JKN tersebut digunakan untuk tahun anggaran berikutnya.

 

Referensi:

Website:

http://www.who.int/health_financing/HF%20Resolution%20en.pdf

 

Peraturan Perundang-undangan:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
  3. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;
  4. Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2014 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah;
  5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 69 Tahun 2013 tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan;
  6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 tentang Penggunaan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Untuk Jasa Pelayanan Kesehatan dan Dukungan Biaya Operasional pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah;
  7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional;
  8. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan menteri Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007;
  9. Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan;
  10. Peraturan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Norma Penetapan Besaran Kapitasi dan Pembayaran Kapitasi Berbasis Pemenuhan Komitmen Pelayanan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama.

 

Penulis:

Tim UJDIH BPK Perwakilan Provinsi Bangka Belitung

 

Disclaimer:

Seluruh informasi yang disediakan dalam Tulisan Hukum adalah bersifat umum dan disediakan untuk tujuan pemberian informasi hukum semata dan bukan merupakan pendapat instansi.

[1] Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional, Bab 1, huruf A. Selengkapnya mengenai isi resolusi WHA ke-58 dapat diunduh pada laman http://www.who.int/health_financing/HF%20Resolution%20en.pdf
[2] Ibid.
[3] Perpres No. 32 Tahun 2014, Pasal 1 angka 3.
[4] Peraturan BPJS Kesehatan No. 1 Tahun 2014, Pasal 48 ayat (3).
[5] Permendagri No. 13 Tahun 2006, Pasal 122 ayat (1).
[6] Permendagri No. 13 Tahun 2006, Pasal 122 ayat (3).
[7] Permendagri No. 13 Tahun 2006, Pasal 122 ayat (5).
[8] Permendagri No. 13 Tahun 2006, Pasal 122 ayat (6).
[9] Permendagri No. 13 Tahun 2006, Pasal 122 ayat (9).
[10] Permendagri No. 13 Tahun 2006, Pasal 127 ayat (1).
[11] Permendagri No. 13 Tahun 2006, Pasal 132 ayat (1).
[12] Perpres 32 Tahun 2014, Pasal 7 ayat (1).
[13] Sebelum ditetapkan Permenkes Nomor 59 Tahun 2014, ketentuan mengenai standar tarif pelayanan kesehatan program JKN diatur dalam Permenkes Nomor 69 Tahun 2013 tentang          Standar Tarif Pelayanan Kesehatan pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Pada saat Permenkes  Nomor 59 Tahun 2014 diberlakukan per tanggal 1 September 2014, Permenkes Nomor 69 Tahun 2013 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
[14] Permenkes Nomor 59 Tahun 2014, Pasal 4 ayat (2) huruf a. Selain dana/tarif kapitasi, dalam Permenkes 59 Tahun 2014 diatur pula mengenai tarif non kapitasi dan tarif Indoesian – Case Based Group (INA-CBG’s). Tarif non kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada FKTP berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Sedangkan tarif INA-CBG’s adalah besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan kepada Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL) atas paket layanan yang didasarkan kepada pengelompokan diagnosis penyakit dan prosedur. Dengan demikian, tarif pelayanan kesehatan pada FKTP hanya meliputi tarif kapitasi dan tarif non kapitasi. Tarif kapitasi diberlakukan pada FKTP yang melaksanakan pelayanan kesehatan komprehensif kepada peserta program JKN berupa rawat jalan tingkat pertama. Sedangkan tarif non kapitasi diberlakukan bagi FKTP yang melaksanakan pelayanan kesehatan kepada peserta program JKN berupa rawat inap tingkat pertama dan pelayanan kebidanan serta neonatal.
[15] Permenkes Nomor 59 Tahun 2014, Pasal 4 ayat (1).
[16] Permenkes Nomor 59 Tahun 2014, Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3).
[17] Penyelenggaraan program JKN oleh BPJS Kesehatan dimulai pada tanggal 1 Januari 2014. Dalam proses penyusunan materi tulisan hukum ini, penulis
tidak dapat menemukan referensi mengenai mekanisme seleksi dan kredensial saat program JKN dimulai pada tanggal 1 Januari 2014 sampai dengan
berlakunya Peraturan BPJS Kesehatan Nomor 2 Tahun 2015 pada tanggal 1 Agustus 2015.
[18] Peraturan BPJS Kesehatan No. 2 Tahun 2015, Pasal 4 ayat (4) s.d. ayat (7).
[19] Peraturan BPJS No. 2 Tahun 2015, Pasal 5.
[20] Selengkapnya mengenai kriteria puskesmas dan besaran tarif kapitasi yang berlaku dapat dilihat pada Tabel Norma Penetapan Besaran Tarif Kapitasi
Puskesmas atau Fasilitas Kesehatan yang Setara oleh BPJS Kesehatan, yang terdapat dalam Lampiran I Peraturan BPJS Kesehatan No. 2 Tahun 2015.
[21] Perpres No. 32 Tahun 2014, Pasal 1 angka 5.
[22] Perpres No. 32 Tahun 2014, Pasal 3.
[23] Perpres No. 32 Tahun 2014, Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4).
[24] Perpres No. 32 Tahun 2014, Pasal 4.
[25] Perpres No. 32 Tahun 2014, Pasal 5 – Pasal 9.
[26] Perpres No. 32 Tahun 2014, Pasal 10.
[27] Perpres No. 32 Tahun 2014, Pasal 11.
[28] Perpres No. 32 Tahun 2014, Pasal 12 ayat (1) s.d. ayat (3).
[29] Perpres No. 32 Tahun 2014, Pasal 12 ayat (4).
[30] Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2014, Pasal 3 ayat (4).
[31] Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2014, Pasal 5.
[32] Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2014, Pasal 5.
[33] Perpres No. 32 Tahun 2014, Pasal 7 ayat (3).